Minggu, Agustus 25, 2013

Panjat Pinang, Analogi Dan Filosofinya.

Panjat Pinang adalah salah satu permainan tradisional Indonesia yang sangat menarik. Biasanya marak dilakukan pada hari raya besar nasional semisal Hari Kemerdekaan, Hari Sumpah Pemuda, dan hari raya besar lainnya. Dan dilakukan hampir di setiap daerah di Indonesia.

Selain pelaksanaannya yang selalu sangat menghibur dan mengundang gelak tawa - walaupun bukan semacam komedi, hal menarik lainnya dari Panjat Pinang adalah makna filosofi yang terkandung di dalamnya serta kedekatan analogi yang bisa dipahami secara mudah dan jelas. Panjat Pinang, yang secara literal berarti memanjat pohon Pinang - walaupun puluhan tahun terakhir pohon yang dipakai bukan lagi Pinang tetapi bambu, seakan mengajarkan cara bagaimana kita bisa eksis dan hidup secara baik hingga berhasil mendapatkan apa yang kita inginkan berdasarkan apa yang kita usahakan.

Fase pertama, melukiskan keadaan secara umum manusia atau masyarakat dalam kehidupan sosialnya. Berbaju, penuh semangat dan yakin. Saat itu, pohon Pinang pun masih kering dan  belum terjamah. Pada etape ini, setiap orang masih mewakili dirinya sendiri. Masing-masing berjuang untuk dirinya.


Fase kedua, setiap orang mulai menyadari bahwa bekerja sendirian itu terlalu berat.  Memanjat tinggi setidaknya butuh tumpuan kuat di bawah. Apalagi pohon sudah mulai licin. 




Fase ketiga, biasanya pada fase ini setiap pemanjat sudah mulai lelah. Pohon makin licin. Tetapi unsur hiburannya, justeru fase inilah yang sangat seru dan menarik. Seolah seluruh penonton sedang menikmati kepuasannya melihat potret kehidupan yang penuh perjuangan dan penuh kegagalan. Tetapi di dalamnya, secara filosofi... setiap  pemanjat sudah melihat dan menyadari 'common enemy'. Maka keinginan bersatu dan menaklukan rintangan makin kuat. Maka semuanya bersatu dan saling mendukung. Bahu membahu mengantarkan siapapun untuk sampai ke atas dan meraih semua hadiah di atas. Maka yang di bawah tinggal memunguti dan mengumpulkannya untuk kemudian mereka bagi bersama.

Itulah. Indahnya kehidupan serupa itu. Filosofi yang sangat menarik dan realistis.
Sayangnya, lomba Panjat Pinang sekarang sudah jarang ditemukan. Jangan sampai tradisi ini hilang ditelan kelalaian dan ketakperdulian.