Jumat, Februari 24, 2012

Cerita Lengkap DEBU Di Jazirah Aljazair

AKU menganggap pentas DEBU di Aljazair adalah sangat luar biasa dari berbagai aspek. Walaupun, secara resmi... selama kunjungan di sana yang hampir 12 hari, DEBU tampil hanya satu kali. Itu adalah di ajang Sufi Music International Festival di Tlemcen, sebuah kota tua yang juga dijuluki sebagai pusat keislaman dan sufisme di Aljazair.


Mustafa di Festival Sufi Internatsional Tlemcen
Debu muncul sebagai 'highlight' di festival itu.
Kota ini sejatinya memang masih terasa atmosfir ketuaannya, apalagi ketika kita diajak dan dipandu mengunjungi beberapa situs sejarah  asal muasal kehidupan sufisme di sana... terasa sekali ruhnya. Tetapi karena kita diinapkan di sebuah hotel termewah dan termodern di kota tua itu... atmosfir itu menjadi tercampur antara jaman lama dan jaman kini sehingga nuansa yang terasa adalah keseimbangan. Dalam rasa dan makna lain, keseimbangan itu adalah  lebih merupakan keseimbangan ruhani dan jasmani. Luar biasa memang.

Perjalanan ini juga sekaligus mengajarkan realitas lain di luar lingkup pesan Syekh Fattaah sendiri yang selalu menyuarakan dan menebarkan cinta dalam hal menggapai ruhani yang sempurna. Dalam tali CINTAnya terhadap Ilahi dan keilahian, Syekh Fattaah selalu berusaha menipiskan dan mengabaikan setiap perbedaan yang melahirkan kesenjangan di antara umat dan hamba lainnya.



Da'ood DEBU dikerubuti mahasiswi tuk foto bareng.
Maka, ketika di sebuah universitas Islam (Abd el Kerim University) di Konstantin  - sebuah kota tua lainnya di jazirah Aljazair - DEBU tidak diizinkan pentas, DEBU pun yang saat itu sudah mulai sound check... segera mengakhiri aktifitasnya dan memasukkan kembali ke dalam boks setiap instrumen musiknya. Padahal, untuk tiba di Konstantin, awak DEBU harus melakukan perjalanan tak kurang dari 7 jam perjalanan dengan bus dari kota Oran serta 1 jam penerbangan dari Tlemcen ke Oran. Sebuah perjalanan yang cukup panjang dan hanya untuk ditolak oleh sesama kalangan Islam. Apalagi penolakan itu tidaklah memiliki alasan yang masuk akal. Menurut dua atau tiga orang Dosen di situ, alat musik seperti drum adalah haram, bukan ciri Islam. Dan alasan sumir itulah yang menjauhkan mereka dari mendengar pesan Ilahi yang dikirimkan Syekh Fattaah melalui para fakirnya lewat dentuman drum, oud serta melodi lainnya. Tetapi itulah, itu adalah salah satu realitas yang harus dihadapi DEBU. Dan ketika seorang pria yang cukup berwibawa datang menghampiri Mustafa yang sedang berjalan di luar dengan Daood setelah penolakan itu dan menyatakan permohonan maafnya, Mustafa cuma menjawab kalem, "It's okay. Kita tidak merasa keberatan. Hanya saja kita perlu menjelaskan bahwa kita jauh-jauh datang dengan pesan cinta terhadap Allah dan datang sebagai tamu tetapi ditolak oleh tuan rumah."


Jamming di pelataran belakang hotel di Algier, ibukto Aljazair.

Penolakan itu justeru mengundang simpati dari kalangan mahasiswanya. Anak-anak muda itu serentak ke luar dari ruangan dan mengikuti DEBU ke luar. Mereka menjadi tertarik untuk mengenal DEBU lebih jauh. Adapun penampil lainnya - kelompok Nashid Samm yang berasal dari London tetap bisa tampil sesuai keinginan beberapa Dekan tetapi dengan penonton yang mungkin cuma sekitar 15 mahasiswa saja. Antusiasme mahasiswa sudah terlanjur terikat oleh DEBU dan hanya menunggu penampilan mereka saja.

Suka atau tidak, penolakan itu justeru menjadi promosi yang hebat buat reputasi DEBU di sana. Simpati berdatangan dari kelompok mahasiswa yang cenderung berjiwa revolusioner. Apalagi ketika Mujahid Ali membagikan CD DEBU pada mereka secara gratis, mereka menjadi histeris dan menyerbu Daood DEBU untuk foto bareng.

Dubes Indonesia Pecinta DEBU


Aljazair memang sangat dingin saat itu. Suhu rata-rata setiap hari sekitar 7 derajat celcius dan bisa bertambah dingin hingga -7 derajat celcius. Bagi kita yang terbiasa di hawa tropis, ini agak... gimanaa gitu. Membuat kita selalu rindu hot drinks. Susahnyaaa... punya 'hot drink' di hawa seperti itu juga menjadi sangat langka dan sangat 'precious'. Kopi panas yang kita pesan semenit lalu, menjadi dingin segera sebelum tiba di mulut.

Maka, ketika di antara waktu luang sebelum berangkat ke Konstantin - Dubes Indonesia mengundang kita ke kediamannya... wah ! Kita bersorak dan fantasi menjadi agak liar. Aku membayangkan macam-macam deh; Wedang Jahe, Nasi Goreng, Nasi Padang, Kopi de el el.




Adapun Dhimas Ramadhan dan Luthfi Aurumera, fantasi mereka masih seputar sambal. Memang betul, kalau sedang berada di ribuan kilo jauhnya dari tanah air... wilayah kedutaan adalah laksana rumah sendiri. Maka sepantasnya kalo para Dubes yang dipilih dan ditempatkan harus mereka yang berjiwa pengayom, ramah dan akuan. Dan karakter itulah yang kebetulan aku lihat di sosok Drs H. Ahmad Ni'am Salim, M.Si - Duta Besar Indonesia untuk Aljazair yang baru ditempatkan satu minggu sebelum kita tiba di sana. Asyiknya, Bapak Dubes ini pun punya gagasan yang sangat segar tentang kolaborasi seni yang kemungkinan bisa dilakukan antara artis Indonesia dan artis Aljazair. Apresiasinya terhadap DEBU sangat luar biasa. "Saya ini penggemar DEBU. Sering melihat DEBU di tivi,"  cetusnya dengan ekspresi gembira yang tak berusaha disembunyikan.
Having fun bersama Dubes Indonesia di MoNas Moudjahid

Maka, ia pun mendaulat DEBU menyanyi di ruang tamunya sekitar 5 lagu, mungkin. Kehangatan yang tercipta di ruangan itu membuat kita lupa tentang dinginnya temperatur di luar. :)
Lucunya lagi, setelah kita sarapan, berakrab ria dan menghabiskan berjam-jam di kediamannya, DUBES ini mengajak kita jalan-jalan pula mengunjungi National Moseum of Moudjahid  atau Monas-nya Aljazair. Puas foto-foto di sini layaknya keluarga besar, kita 'ngabring' ke sebuah mal tua yang hanya menyisakan beberapa toko yang masih bertahan terbuka. Ternyata di sana ada sebuah toko alat musik, di antaranya dumbek. Maka, seperti biasa... para musisi kalau bertemu musisi lainnya pasti komunikasi pembuka di antara mereka adalah... jamming ! Jajal kemampuan gitu lah ! Dan memang selalu asyik. Suasana menjadi hidup dan bernyawa. Lupa segala perbedaan ras dan bahasa. Masya Allah.

Pemilik toko itu begitu suka DEBU sehingga ketika Pak Dubes membeli sebuah dumbek sebagai suvenir buat DEBU, mereka pun mendapat harga yang bagus. Khulash !




Bersamana seorang Aljazair dengan jubah khasnya; Jalaba.
DEBU Masuk Jurang ?

Nah ! Berita ini tiba-tiba geger di tanah air. Teman-teman banyak yang inbok padaku dengan cemas bertanya-tanya. AKu jawab dengan kelakar... "Kalo DEBU masuk jurang, masa aku masih asyik update status sih? Yang bener sajaaa... LOL !"
 
Selidik punya selidik ternyata para nyamuk pers khusus infotaintment di tanah air salah menginterpretasi. Padahal, yang sesungguhnya terjadi adalah, malam itu kita dalam perjalanan dari Konstantin menuju Algier, ibukota Aljazair untuk melakukan 'take off' besok siang di bandara internasional Algier. Tetapi, karena salju turun lebat, jalanan menjadi licin dan penglihatan pun terhalang oleh derasnya luncuran salju yang menghantam kaca. Kita yang terbagi dalam tiga rombongan kendaraan menjadi terpisah. Kebetulan Saleem dalam mobil sedan lain bersama panitia. Nah, mobil sedan inilah yang slip dan mengalami benturan. Tak ayal, Saleem mengalami 'jontor' dan memar di bibirnya, juga sang panitia - Lalla Fatima bersama anggota Nashid lain dari London.

Karena kecelakaan inilah... maka kita kembali tertahan pulang dan harus menginap satu malam lagi di sebuah hotel mengingat jalanan pun ditutup oleh tentara Aljazair. Anyway... apapun yang terjadi, insya Allah dan alhamdulillah kita semua selamat dalam limpahan CintaNya. Allahumma Shaali Ala Muhammad wa Aali Muhammad. :)))