Jumat, November 18, 2011

DEBU Dan Festival Internasional Musik Sufi Aceh

Semula aku ragu dengan keberangkatanku bersama DEBU kali ini ke Aceh. Segala sesuatu yang terjadi sebelum hari H membuatku 'maju mundur'.
Pertama, aku sudah punya plan sendiri untuk pergi ke Cirebon bersama seorang teman di tanggal yang sama. Rencana ke Cirebon ini bukanlah sekedar rencana biasa, tetapi sudah dimatangkan sejak sebulan sebelumnya.



Masjid Baiturrahaman, salah satu ikon populer di Aceh.
Kedua, personil DEBU yang pergi ke Aceh kali ini semuanya laki-laki, tanpa Naseem Nahid dan Shakurah Yaseerah. Ini terasa aneh bagiku. Biasanya aku punya teman sekamar yang bisa 'haha hihi'. Tetapi kiranya kali ini aku menjadi satu-satunya hawa di antara adam. Ini membuatku merasa agak aneh sedikit walaupun aku kenal semua mereka secara baik dan  dekat. :D)))

Aku bertanya pada Shaykh Fattaah - dalam hal ini pembimbing DEBU dan juga shaykh-ku tentang kemungkinan untuk tak ikut. Tetapi beliau bilang. "Tak bisa tidak. Kamu harus tetap pergi bersama DEBU."

Itu artinya, kalau beliau sudah mengultimatum seperti itu, maka tak ada kata lain selain sami'na wa atho'na - saya mendengar dan saya akan lakukan.



Saleem sedang menawarkan sulingnya
tuk dicoba pemain suling Iran saat gladiresik.
Maka, dengan membuang seluruh ragu dan dengan keyakinan bahwa izin dan perintah Shaykh Fattaah selalu punya hikmah di dalamnya... aku pun segera memasukkan berbagai kebutuhan perjalanan ke dalam 'suitcase' merah yang biasa menemani perjalananku. Dan alhamdulillah... segala sesuatu memang berjalan lancar sehingga begitu tiba di Aceh, aku berbisik pada diriku, 'Firasat Shaykh Fattaah memang selalu benar."


Di antara perjalanan bersama DEBU, aku rasa inilah perjalanan paling santai yang membuatku bisa istirahat layaknya acara sedang liburan di villa. Bukan karena fasilitas hotel atau hal lainnya yang membuat nyaman... tetapi adalah perasaan dan suasana hati itu sendiri yang begitu damai dan santai. Walaupun benak lamaku masih mengingat jelas tentang Aceh dengan aktifitas GAM-nya dan cerita-cerita militeristik lainnya... tetapi entah kenapa... aku merasa aman dan nyaman di sini. Bahkan akupun akan berani dan yakin untuk jalan sendiri menelusuri tempat-tempat bersejarah di sepanjang jalanan yang sungguh kering dan terik. Walaupun berkeliling hanya dengan becak motor bersama Saleem dan abang pengendara hingga ke Pantai Ulele... tetapi serasa berkendara di atas Harley Davidson gandeng. :DD))) Enjoy banget.


Rapa'i Pasee; Alat musik tradisional Aceh yang beratnya masing-masing 50 kg.
Tak ada lagi sisa fantasi tentang beberapa cerita 'insecure' tentang Aceh. Tetapi masih terlihat berbagai situs sisa terjangan dahsyat tsunami di beberapa tempat. Bahkan di pusat kota berdiri megah Museum Tsunami sebagai momentum. Sementara situs tentang kapal besar yang terdampar itu, saat ini sedang tertutup karena dalam tahap renovasi untuk dijadikan sebagai salah satu situs turisme. Yang juga menarik, sempat terlintas dalam pikiranku... ke manakah dan di manakah para anggota GAM dulu? Haaa... ternyata... para resepsionis yang berbicara denganku di lobby adalah mantan serdadu GAM, bahkan panitia penggagas festival musik sufi ini pun yang berbincang lama denganku di acara sarapan... seorang pentolan GAM ! :)))

"Kita ingin sesuatu yang lain tentang musik," kata Raffi, sang pentolan yang juga panitia penggagas International Sufi Musik Festival (IMSF).
"Saya ingin sebuah musik yang ketika didengar para kawula muda, tidak membuatnya menjadi liar. Tetapi kumpulan musik yang punya pesan ruhani di dalamnya. Dan Aceh adalah akar dari keislaman di Indonesia, juga akar kesufian. Maka Aceh lah tempat yang tepat untuk penyelenggaraan festival ini," tuturnya.



Walaupun festival ini diselenggarakan di Aceh, tetapi ini adalah festival internasional yang manajemennya ditangani langsung oleh pusat, tidak oleh pemda. Karena itulah, selain DEBU... festival ini juga menghadirkan beberapa grup dari luar; Iran, Perancis, India dan Malaysia yang diwakili oleh Raihan. (*)